Lepaslah pandang sepuluh meter ke arah kanan
dari rumahku. Akan kau temui sebuah bangunan berdinding triplek yang mencoba
berdiri melawan waktu. Dinding yang berlubang, atap yang bocor serta cat yang
terlihat menua. Tak nampak layak untuk sebuah tempat di mana perputaran ilmu
berlangsung. Pun tak begitu layak jika kita menyebutnya sebagai tempat para
hamba bersujud di hadapan Penciptanya.
Itulah surau kami.
***
Kala itu aku tak lebih dari seorang bocah yang
akan berlonjak senang setiap terik siang memudar. Teriak anak-anak lapang yang
kehausan lemparan bola, memberiku semangat untuk terus berkawan peluh. Kami
berlari, mengejar bola hingga senja mulai membayang.
Senja kembali datang. Kami tahu bahwa sebentar
lagi seorang ibu berbadan gendut dengan pipi bulat akan berkacak pinggang
sambil berteriak, “Pulang hai anak-anak nakal! Penuhi surau, shalat dan
mengajilah!” Selalu sama. Wanita itu seperti tak punya kalimat lain sebagai
cara untuk mengusir kami dari gersangnya tanah ini.
Wak Min, begitu warga sini memangilnya.
Seorang janda tua yang kabarnya tak lagi waras. Seingatku, Wak Min mulai
seperti ini semenjak empat tahun lalu. Semenjak anak lelaki satu-satunya yang
berusia tujuh tahun itu tewas terseret arus sungai saat bolos mengaji di surau.
Kami tak senang jika Wak Min telah datang. Ia
akan mengejar-ngejar, memaki-maki sambil terus menyuruh kami pergi ke surau.
Orang tua kami akan tertawa riang di sisi lapang. Oh, tentu. Mereka pastilah
gembira karena tak perlu mengurusi kebadungan anak-anaknya yang lebih memilih
tak menghiraukan adzan ashar yang sebentar lagi berkumandang.
Kami bagai tikus-tikus got yang dikejar kucing
pemangsa. Lari terbirit-birit dan masuk ke dalam rumah. Wak Min menang! Selalu
menang. Kami pastilah diteriaki untuk segera mandi oleh ibu kami masing-masing.
Aku, si bengal, bahkan selalu mendapat bonus.
Sebuah jeweran di kuping yang selalu berhasil membuatku meringis
meski tak pula kapok mengulangi. Bukan Arkana namanya jika tak mencari seribu
alasan agar bisa mangkir mengaji bersama ustadz Baihaqi. Kutepuk dadaku sebagai
bukti bahwa aku memanglah si pemberani. Sok berani mungkin. Karena ibu pun
memiliki seribu cara agar kedua kakiku ini bisa bergerak menuju surau. “Tidur
di serambi depan tanpa selimut!” Itulah titah ibu jika mulutku mulai berkomat
kamit menyenandungkan syair-syair rayuan agar tak pergi mengaji.
Terkikik geli Delima--adik balitaku—di samping
kursi kayu yang lapuk. Tak sekali ia melihat abangnya dimarahi seperti ini. Ia
telah menjadikanku sebagai selingan pengumbar tawa dalam rutinitas hariannya.
Mulutnya yang hanya berisi beberapa gigi putih itu akan terbuka lebar
menertawakan kesusahan abangnya ini.
Ibu pernah berkata bahwa mungkin ketika
mengandungku ia tak banyak beramal hingga lahirlah aku, Arkana si pemberontak.
Lain cerita dengan Delima yang manis. Saat adikku itu dalam kandungan, ibu
begitu senang memberi pada orang lain. Dongeng kami saat masih berbentuk janin
itu sudah sering kudengar. Mungkin ibu ingin menyindirku. Tapi sampai saat ini
sindiran itu masihlah seperti angin lalu yang masuk kuping kiri dan keluar
kuping kanan. “Tidak, Bu, aku bukan pemberontak, aku hanya tak suka mengaji.”
Ibu tak menjawabnya dengan kalimat ancaman.
Kedua matanya melotot. Aku mendengus kesal. “Baik, Bu, aku akan pergi ke
surau!”
***
Sore hari ketika lelah menggelayut di pelupuk
mata, tentu tidur terlelap menjadi sesuatu yang dirindu. Dan apalagi yang bisa
dilakukan si perindu ulung jika lelah itu benar-benar telah menjadi candu?
Kutopang daguku ini agar tetap terlihat
seperti orang yang tengah menyimak. Duduk paling belakang beginilah asyiknya!
Dekat jendela yang tak lagi berkaca (setahun lalu kacanya pecah gara-gara
terkena bola yang ditendang oleh Amir), aku termanggut-manggut menahan kantuk.
Suara ustadz Baihaqi yang tengah bercerita tentang perang Badar, terdengar
samar di antara gemerisik dedaunan pohon jambu yang berada tepat di luar
jendela. Oh, Arkana yang pintar!
***
“Sapu dan pel lantai sebelum maghrib datang!”
Begitu perintah ustadz Baihaqi saat
mendapatiku tertidur pulas di jam mengaji.
Aku menunduk, berpura-pura menyesali
perbuatanku. Kuambil alat-alat kebersihan di belakang surau.
Bersenandung pelan sebagai cara menikmati
hukuman. Kusapu debu-debu untuk kemudian kubasahi dengan kain pel putih lusuh
yang telah lama berganti kehitaman.
Pekerjaan sia-sia sebenarnya, lantai surau ini
berkali-kali dipel pun tak akan mengubah apapun. Surau ini tetaplah dekil.
Lantai semen yang dialasi tikar pandan ini tetap akan menjadi sarang debu.
Sekali saja disuruh membersihkan surau ini, kepayahan telah mematahkan
semangatku. Tak akan ada yang bertahan jika berurusan dengan surau payah yang
selalu berbau pengap ini selain ustadz Baihaqi, agaknya.
Setiap pagi saat akan berangkat sekolah, akan
kujumpai ustadz Baihaqi dengan kaos dan celana bututnya tengah menjemur
tikar-tikar pandan usang ini. Sapu dan pel yang kupegang pun pasti telah
beribu-ribu kali dipegang olehnya. Kadang aku merasa heran, ustadz Baihaqi
masihlah muda, ada banyak hal-hal menyenangkan di luaran sana,
tapi anehnya ia memilih sendiri untuk terjebak
bersama kekusaman yang melingkupi surau ini. Satu waktu kuberanikan diri
bertanya pada ustadz Baihaqi, “Mengapa Pak ustadz mau mengurusi surau yang
hampir rubuh ini?”
Ustadz Baihaqi terdiam sebentar, tak lama ia
pun menjawab. “Kita membutuhkan surau ini, sangat membutuhkannya, Arkana. Jika
surau ini tak ada maka desa akan menjadi sunyi. Tak ada suara terbata-bata
anak-anak yang mengeja Al-Quran, tak ada canda tawa petani-petani kelelahan
sehabis shalat berjamaah. Terlalu sepi, Arkana.”
Kuhembuskan napas penuh kata lelah. Sapu dan
kain pel telah kusimpan kembali ke belakang surau. Aku terduduk di sudut kanan
surau sambil memandangi dinding triplek yang berlubang. Menganga, cukup besar.
“Surau yang malang!”
***
Sebulan setelah hari itu, tersiar sebuah
berita yang mengejutkan. Ustadz Baihaqi harus pindah ke pulau seberang. Ibunya
yang sakit-sakitan harus berobat ke kota, desa ini tak memiliki rumah sakit
dengan peralatan canggih seperti di sana. Ia akan menumpang di rumah pamannya,
mencari pekerjaan dan mungkin akan menetap sampai ibunya sembuh.
Warga desa mengikhlaskan keputusannya, meski
kini mereka ribut mencari ustadz pengganti. Sebuah keributan yang
berlarut-larut karena tak ada yang merasa sanggup diamanahi surau bobrok, yang
hanya tinggal menunggu angin berhembus kencang sedikit untuk bisa dipanggil
kepingan-kepingan sisa surau. Mengaji diliburkan. Berbulan-bulan lamanya.
Anak-anak lapang bersorak sorai. Saat Wak Min datang mengusir mereka maka akan
ada satu alasan yang diberikan: Tak ada pak ustadz, Wak Min, kami bebas bermain
hingga malam.
Aku pun bersuka cita dengan mereka. Acuh
dengan suara teriakan ibu yang menyuruhku pulang untuk mandi. Tak ada guru
ngaji, Bu. Jadi biarkan aku bermain sepuasnya.
***
Lama-lama kami terbiasa dengan segalanya.
Bocah-bocah lapang yang semakin menggila mengejar bola. Siang terik sehabis
pulang sekolah hingga senja rebah di balik bukit belakang rumah, kami tetap
berguling-guling demi sebuah bola. Apalagi setelah Wak Min meninggal sebulan
yang lalu, makin lengkaplah kesenangan kami. Tak akan ada ritual kejar-kejaran
macam tikus dan kucing yang disajikan. Para ibu yang mulai kewalahan pun tak
lagi memanggil-manggil nama kami.
Mengaji masih libur, jadi daripada kumpulan
anak-anak nakal itu bikin ulah di rumah, mungkin lebih baik jika energi
berlebih itu disalurkan untuk bermain bola. Mungkin begitu pemikiran mereka.
Surau semakin kusam diterpa angin musim
kemarau. Warga desa yang kebanyakan bekerja sebagai petani, beralasan tak memiliki
waktu mengurusnya. Begitulah. Surau kami menjadi satu yang terlupakan. Mungkin kami benar-benar akan lupa tentang keberadaan surau jika
saja para ibu tak ribut lagi memperbincangkannya selama seminggu ini. Tersiar
berita bahwa surau akan dirubuhkan dan diganti dengan masjid yang besar. Pak
Haji Ilyas, saudagar kaya yang dahulu merantau ke kota yang akan menggantinya.
Ia yang ingin menghabiskan masa tuanya dengan kembali tinggal di kampung halaman,
merasa iba melihat surau kami.
Maka kemudian desa kami mendadak ribut.
Beberapa perancang gedung yang berdasi selalu keluar masuk rumah Pak Haji
Ilyas, setiap harinya. Membuat para ibu semakin senang berbisik-bisik di depan
rumah. Apalagi kalau bukan untuk berbincang-bincang mengenai masjid megah yang
akan dibangun itu. Ya, sangat megah, kawan!
“Lupakan surau kalian yang sekarat itu! Akan
kubangun masjid besar dengan kubah terbuat dari emas!” Begitu Pak Haji berkata
di pertemuan desa.
Warga desa bertepuk tangan. Rona kekaguman
begitu tergambar dari wajah-wajah lelah para petani tua itu.
Mereka yang selalu mendengar tentang cerita
masjid-masjid di kota yang begitu indah, pasti kini tengah bersorai atas janji
perwujudan mimpi yang selama ini tak pernah bisa direalisasi. Masjid berkubah
emas! Masjid besar nan elok! Pasti mereka akan senang untuk memandangnya setiap
hari. Pasti mereka akan senang berdiam lama di sana. Ya, pasti, itu janji
mereka dalam hati.
Aku hanya menopang daguku. Mulai merasa bosan
dengan pertemuan yang terasa menjenuhkan ini. Coba kalau tadi sore kutolak
permintaan ibu untuk menghadiri pertemuan ini, mungkin sekarang aku telah
terlelap di bawah selimut tebal kesayanganku.
Kebosanan yang menjalar perlahan membawaku
pada beberapa lamunan. Pada beberapa senja yang tak lagi kujumpai, pada suara
berat ustadz Baihaqi, pada sebuah surau yang telah lama ditinggalkan. Ah,
mungkin aku tengah merindu. Rindu akan seseorang yang telah lama pergi jauh.
Melirik sekilas jendela balai desa, kubisiki
pelan angin yang terhembus di malam ini, “Surau akan dirubuhkan, Pak ustadz.”
***
Dan memang masjid itu semegah apa yang
digadangkan oleh Pak Haji Ilyas. Saat peresmian masjid, semua warga desa
berkerumun di depannya, menyemut bahkan sedikit berdesakan. Mereka tak lagi
sabar untuk segera masuk dan merasai kemewahan di dalamnya.
Tubuhku yang tak terlalu besar ini berhasil
membuatku menerobos kerumunan. Menyentuhkan kaki-kaki kecilku di atas halusnya
marmer yang menjadi lantai masjid. Terlalu indah! Ini lebih dari segala mimpi
yang dahulu diberi oleh orang-orang kota. Kaca patri berwarni-warni yang
terbentuk sebagai sebuah kaligrafi, mimbar besar yang terbuat dari kayu jati
serta karpet-karpet hijau yang siap diduduki. Tak ada bau pengap, tak ada tikar
daun pandan dan tentulah tak ada lagi surau bobrok.
Sore ini masjid akan langsung digunakan untuk
mengaji. Pak Haji Ilyas telah membayar seorang ustadz dari kota untuk mengajari
kami. Tak ada lagi libur mengaji, bermain bola pun hanya bisa sampai menjelang
adzan ashar. Persis sama seperti dulu, saat kami disuruh mengaji ke surau oleh
para ibu. Namun kali ini tak ada yang berniat untuk mangkir, kami semua
bersemangat, bahkan tak sabar agar senja segera terjelang.
0 comments:
Post a Comment